BAB II
Rahn (Gadai)
A. Pengertian Rahn
Secara etemologi, Rahn (Gadai) adalah tetap dan kekal,
seperti ungkapan kalimat مَاءٌ رَاهِـنٌ (air yang menggenang,
tidak mengalir, tetap).[1]
Sedangkan Menurut Ibrahim Anis yang dikutip oleh Drs. Ahmad Wardi Muslich
memberikan pengertian rahn sebagai kata yang bersalah dari Rahana-rahnan
yang memiliki padanan kata dengan tsabata (tetap), dama (kekal),
dan habasa (menahan).[2]
Dalam kajian ilmu fiqih, para ulama memperkenalkan dua istilah tentang
Rahn. Yang pertama adalah Rahn Ju’li dan yang terakhir adalah Rahn
Syar’i. Rahn Syar’i adalah utang yang belum terbayar dan orang yang
berutang meninggal dunia. Maka harta warisan (tirkah) menjadi jaminan
untuk melunasi utang-utang si mayyit, sehingga ahli warits tidak diperkenankan
membagi harta tersebut selama utang-utang si mayyit terlunasi. Dengan kata lain
Rahn syar’i adalah berkaitan dengan harta warisan yang menjadi jaminan
utang mayyit.
Sedangkan rahn ju’li adalah rahn biasa seperti yang akan dibahas
dalam bab ini.
Secara istilah, rahn oleh Imam Syafi’i didefinisikan sebagai:
جَـعـْلُ عَـيـْنٍ مَا ِلـيـَّةٍ وَثـِيـْقـَةً بـِدَيْـنٍ
يُسـْتَـوْفَى مِنْهَا عِـنـْدَ تَـعَـذُّرِ وَفَـائِـهِ[3]
Menjadikan suatu benda yang memiliki nilai untuk jaminan utang dimana utang
tersebut bisa dilunasi dari benda tersebut ketika mengalami kesulitan ketika
akan membayarnya.
Sedangkan ulama Hanabilah memberikan definisi gadai sebagai akad yang
menjadikan harta sebagai jaminan atas utang dimana harga barang jaminan itu
dapat melunasi utang tersebut.
المَالُ الـَّـذِيْ يُـجْـعَـلُ وَثِـيْـقَـةً بِالـدَّ يْـنِ لِـيُـسْـتـَوْفَى مِـنْ
ثـَمَنِهِ اِنْ تـَعَـذ ُّرِ اِسْـتِـيْـفـَاؤُهُ مِـمَّـنْ هُـوَ عَـلَـيْـهِ[4]
Artinya :Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai
jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya apabiala mengalami
kesulitan pengembaliannya dari orang yang berutang.
Menurut madzhab Malikiyah, Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta
yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan utang tetap atau menjadi tetap.
بِـاَنـَّهُ شَـيْءٌ مُـتَـمَـوِّلٌ يُـؤْخَـذُ مِنْ
مَـالِـكِهِ تَـوَثُّـقًا بِهِ فِيْ
دَيْـنٍ لاَزِمٍ اَوْ صَـارَ اِلَى اللُّـزُوْمِ[5]
Artinya: Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang
diambil dari pemiliknya sebagai jaminan utang tetap atau menjadi tetap.
Muhammad Syafi'i Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori
ke Praktik (2001) mendefinisikan
rahn
sebagai berikut :
Gadai syariah (Rahn) adalah
menahan salah satu yaitu harta milik nasabah (rahin)
sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,
pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya[6].
Secara umum
para ulama empat madzhab atau pakar ekonomi syariah seperti Muhammad Syafi’i Antonio berpendapat bahwa rahn
(gadai) adalah akad utang piutang dimana utang tersebut dijamin oleh barang
yang bernilai harta, yang mana barang jaminan itu bisa melunasi utang tersebut
apabila terjadi kesulitan dalam melunasi jika telah jatuh tempo.
B. Landasan Hukum Rahn
Gadai (Rahn) dibolehkan oleh syariat, berdasarkan
al-Quran, al-Hadits, dan ijma’ ulama’.
1. Al-Qur ân
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ
Artinya : Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.[7]
2. Al-Hadits
أنَّ ا لنَّبِيَ صَلىَّ اللهُ عليه وسلم رَهَنَ دِ
رْعَهُ عِـنْدَ يَهُوْدِيٍّ يُقَالُ لَهُ اَبُوْالشَّحْمِ عَلَى ثَلاَ ثِــيْنَ
صَاعًا مِنْ شَعِـيْرٍ ِلأَهْلِهِ (متـفـق عليه)
Artinya: Sesungguhnya Nabi Saw. menggadaikan baju
perangnya kepada seorang yahudi, abu syahm sebagai jaminan atas 30 sha’ gandum untuk
keluarga beliau. (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ عَا ئِـشَـة رضي الله
عنهـا (أَنَّ الـنَّـبِـيَّ صَـلَّى اللهُ عَـلَـيْـهِ وَسَـلَّـمَ اِشْـثَـرَى
طَـعَـامًـا مِـنْ يَـهُـوْدِيٍّ اِلىَ اَجَلٍ وَرَهَـنَـهُ دِرْعـًا مِنْ حَـدِ
يْـدٍ) وَ فِيْ لَـفْْْْـظٍ (تـُوُفـِّيَ وَدَرْعُـهُ مَـرْهُـوْنَـة ٌ عِـنْـدَ
يَـهُـوْدِيٍّ بـِثـَلاَ ثِـيْـنَ صَـاعًـا مِـنْ شَـعِـيْـرٍ)
Artinya: Dari aisyah Ra. Bahwa nabi membeli makanan dari
seorang yahudi dengan pembayaran tempo, dan beliau menggadaikan baju perang
dari besi kepada orang yahudi tersebut. Dalam redaksi yang lain: nabi wafat,
sedangkan perangnya digadaikan kepda seoramg yahudi dengan tiga puluh liter
gandum.
3. Ijma’ Ulama’.
Para ulama sepakat bahwa rahn (gadai) dibolehkan oleh syari’at islam dengan
mengacu pada dalil-dalil qath’i dan
atsar para sahabat nabi.
Termasuk dalam hal ini adalah Fatwa DSN MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 dan fatwa yang serupa nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
gadai. Dimana Majlis Ulama Inonesia (MUI), melalui Dewan Syariah Nasional (DSN)
memperbolehkan akad rahn (gadai) dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai
dengan syariah. Seperti biaya penitipan dengan aqad ijarah yang ditanggung oleh
nasabah yang didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata dibutuhkan.
C. Rukun dan Syarat-Syarat Rahn
a. Rukun.
Rukun-rukun dalam gadai ini ada empat yaitu:
1) ‘Âqid (rahin dan murtahin).
2) Shighat,
3) Marhun,
4) Marhun bih
Dalam akad gadai (rahn) ini ada empat unsur di dalamnya; yang pertama
adalah rahin (رَاهِنٌ) iyaitu orang yang menggadaikan harta, yang kedua adalah murtahin (مُرْتَهِنٌ) iyaitu orang
yang menerima gadai, yang ketiga adalah marhun (مَرْهُوْنٌ) iyaitu harta yang digadaikan, sedangkan yang keempat
adalah marhun bih (مَرْهُوْنٌ بِهِ) iyalah utang yang dijamin dengan marhun.
Sedangkan menurut ulama hanafiyah rukun gadai (rahn) hanya memiliki
satu rukun iyaitu Ijab dan Qabul. Yang menunjukkan sikap saling
memberi atau saling tukar menukar. Dengan kata yang berbeda ijab qabul
adalah perbuatan yang menunjukkan kesediaan kedua belah pihak untuk menyerahkan
milik masing-masing kepada pihak lain, baik dengan perkataan maupun dengan
perbuatan[8].
b. Syarat-Syarat Dalam Rahn (Gadai)
1) Syarat ‘Âqidain (عَاقِدَيْنِ)
Orang yang melakukan transaksi atau kontrak dalam rahn (gadai)
haruslah mempunyai kecakapan (اَهْلِيَّةْ), pendapat hanafiyah dalam hal gadai ini adalah
kecakapan jual-beli. Menurutnya, seseorang yang sah untuk melakukan taransaksi
jual beli, sah juga melakukan kontrak gadai. Ulama Hanafiyah mengasumsikan rahn
atau gadai adalah sama dengan jual beli karena berkaitan dengan tasharruf
pada harta. Maka pelaku akad ini disyaratkan harus berakal dan mumayyiz.
Maka tidak shah apabila akad dilakukan oleh orang yang belum tamyiz seperti
anak-anak, orang gila dan lainya.
Sedangkan pendapat jumhur ulama selain hanafiyah berpendapat bahwa
kecakapan itu berkaitang dengan kecakapan untuk melakukan transaksi jual beli
dan melakukan akad tabarru’, dikarenakan akad gadai merupakan akad tabarru’.
وَ اَ مَّا عَاقِدَيْنِ فَـيُـشْـتَـرَطُ فِيْهِمَا
اَهْلِيَّةُ التَّـبَـرُّعِ وَاخْتِيَارٌ كَمَا فِى اْلبَيْعِ وَنَحْوِهِ[10]
2) Syarat Shighat (صِغَةٌ)
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat yang tidak bertentangan dengan
tujuan akad hukumnya sah. Jika syarat itu bertentangan dengan tujuan akad maka
akad tersebut hukumnya fasid dan dapat membatalkan akad gadai.[11]
Sedangkan ulama hanafiyah sama sekali tidak membolehkan akad rahn
(gadai) digantungkan pada syarat apapun, dan tidak disandarkan pada masa yang
akan datang. Jika akad gadai ini digantungkan pada syarat atau disandarkan pada
masa yang akan datang maka akad gadai menjadi fasid. Karena akad gadai
seperti halnya akad jual beli dalam hal pelunasan utang.
Menurut ulama syafi’iyah syarat gadai dapat diperinci menjadi empat bagian.
Emapat bagian tersebut sebagai berikut:
1. Apabila syarat tersebut sesuai dengan maksud dilaksanakannya akad, maka
syarat tersebut hukumnya sah. Seperti memprioritaskan pelunasan utang kepada murtahin
apabila yang memberi utang lebil dari seorang.
2. Apabila syarat tersebut tidak ada kemaslahatan apapun dan tidak ada
tujuannya pada akad gadai tersebut, maka akad gadai tersebut hukumnya sah
tetapi syaratnya tidak berlaku.
3. Apabila syarat tersebut menguntungkan rahin dan merugikan murtahin
maka syarat dan akad gadai hukumnya batal. Seperti disyaratkan harta jaminan
tidak boleh dijual ketika utang sudah jatuh tempo.
4. Apabila syarat tersebut menguntungkan merugikan rahin dan
menguntungkan murtahin, seperti disyaratkan barang jaminan boleh diambil
manfaat oleh murtahin, maka hukum gadai tersebut diperselisihkan.
Pendapat yang zhâhir, syarat dan akad hukumnya batal karena
syarat tersebut bertentangan dengan tujuan akad.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua, akadnya
batal sedangkan akad gadainya tetap sah, sebab gadai merupakan akad tabarru’,
sehingga tidak terpengaruh oleh syarat yang fasid. [12]
3) Syarat Marhun (مَرْهُوْنٌ)
Jumhur ulama sepakat bahwa syarat marhun itu adalaha setiap sesuatu
yang sah untuk diperjual-belikan, sah juga digadaikan.
Artinya: setiap segala sesuatu yang sah jual-belinya, sah
pula gadainya.
4) Syarat Marhun Bih (مَرْهُوْنٌ بِهِ)
Syarat marhun bih adalah utang yang tetap, final dan mengikat (luzûm) atau mendekati mengikat. Artinya dain itu sudah
melewati batas khiyar, tetapi masih memungkin untuk menggugurkan akad.
Sedangkan yang disebut dengan utang (dain) adalah tanggungan
seseorang karena beberapa sebab seperti karena utang (qardh), ganti rugi
kerusakan, atau karena lainnya yang menyebabkan adanya tanggungan.
Sifat utang (dain) tidak tertentu pada fisik. Seperti seseorang
berutang uang sebesar Rp. 10 juta, maka ia tidak harus mengembalikan uang 10
juta rupiah yang ia uatang. Bisa ia mengembalikan dengan uang lain senilai 10
juta rupiah atau dengan barang lain selain uang yang memiliki nilai sama dengan
uang yang ia utang. Maka marhun bih disyaratkan merupakan dain
yang tidak tertentu secara fisik.
Dengan kata berbeda tidak boleh menggadaikan barang yang tertentu pada
fisik, seperti menggadaikan barang hasil curian, hasil sewa, ghashab
dll.
Selain itu, marhun bih harus menjamin utang yang sudah ada atau
menjadi tanggungan. Sebab gadai (rahn) adalah jaminan atas hak, sehingga
hak tersebut harus ada terlebih dahulu, baru kemudian diadakan penjaminan. Oleh
sebab itu tidak sah memberikan jaminan pada utang yang utangnya belum
dilaksakan.
Yang terakhir, bahwa marhun bih harus jelas baik kadarnya maupun sifatnya
bagi pihak yang melakukan akad. Sebab apabila tidak jelas atau tdak diketahui (majhûl) tidak memungkinkan untuk dilakukan pembayaran dari marhun
ketika mengalami kesulitan dalam pembayaran.[14]
D. Prinsip-Prinsip Operasional Rahn
Prinsip-prinsip operasional Gadai
pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni berfungsi sosial.
Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah Saw, masih hidup. Rahn pada saat
itu belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga
aktivitas gadai hanya berlaku bagi perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin
jika aktivitas tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban
memberikan tambahan apapun dalam pelunasan utangnya.
Kondisi saat
ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh
pemerintah. Mengenai fungsi dari Pengadaian tersebut tentu sudah bersifat
komersiil. Artinya Pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga Pegadaian mewajibkan menambahkan
sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai.
Prinsip gadai syariah di indonesia ini secara umum tidak mengandung unsur
Maisir, Haram, Gharar, Riba, dan Batil.
1)
Maisir
Menurut bahasa
maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa
harus bekerja keras. Maisir sering dikenal
dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang
dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam
kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan
kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam Al
Qur’an (2:219 dan 5:90)
2)
Gharar
Menurut bahasa
gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang menyatakan bahawa gharar
bermaksud syak atau keraguan. Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya
atau
tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar.
Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan
ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami
sebagai berikut :
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu
wujud atau tidak;
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu
mampu diserahkan atau tidak;
- Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak
jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara
bayarnya, dan lain-lain.
Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak
yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang
bersifat gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.
3)
Haram
Ketika objek
yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya mnejadi tidak sah.
Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4)
Riba
Pelarangan riba
telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan
riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari
peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut
:
Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi
harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan dalam
QS. Ar-Rum :39 .
Artinya:“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”
Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa :
160-161 .
Artinya: “Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih.”
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi
riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah
mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep
final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
5)
Bathil
Dalam melakukan
transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang
dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai
takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah
pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu
baik.
Kecurangan,
ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan.
Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa
izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat
diperhatikan dalam bermuamalah.[15]
[1] Abdu
Al-Rahman
Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâb Al-Arba’ah, (Beirut:Dar Al-Fikr,
2004), II: 256
[3] Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Al-Bajuri
‘Alâ Ibni Qâsim Al-Ghazî, (Surabaya: Nur Al-Huda, tt), I: 360
[6]
Muhammad Syafi’i Antonio,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cet. 1, (Jakarta: Kerjasama Gema Insani
Press dengan Tazkia Institute, 2001) hal. 128.
[7]
Al-Baqarah (2):283
[8] Abdu Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Alâ
Al-Madzâb Al-Arba’ah, (Beirut:Dar Al-Fikr, 2004), II: 256
[9]
Abdu Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâb
Al-Arba’ah, (Beirut:Dar Al-Fikr, 2004), II: 257
[10]
HM. Dumairi Nor dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan: Pustaka
Sidogiri, 2007), hlm. 112
[11] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, Cet
III, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), V: 191
[13]Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Al-Bajuri ‘Alâ Ibni Qâsim
Al-Ghazî, (Surabaya: Nur Al-Huda, tt), I: 360
[15]
www.fimadani.com/prinsip-prinsip-dasar-muamalah/
akses pada
tanggal 05 juni 2014. Pukul 16:21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar