BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG GADAI
SYARIAH
DI BMT UGT SIDOGIRI GANDING
A.
TINJAUAN
DARI SEGI OBYEKNYA
Obyek dalam
praktik gadai adalah benda-benda yang digadaikan, seperti kendaraan
bermotor (motor, mobil, truk, dll.), alat elektronik, atau segala sesuatu yang
sah jual belinya, maka sah pula digadaikan. Jadi tidak semua
barang dapat digadaikan atau dijadikan sebagai jaminan atas hutang.
وكل ما جاز بيعه جاز
رهنه.[1]
"Segala
sesuatu yang boleh menjualnya, maka boleh pula menjadikannya sebagai jaminan"
Dalam gadai,
barang yang digadaikan harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: [2]
a.
Barang jaminan yang di gadaikan boleh dijual dan nilainya
seimbang dengan hutang.
b.
Barang yang
digadaikan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Dengan kata lain sesuatu yang tidak bernilai harta tidak bisa
dijadikan barang yang dijadikan jaminan sebuah hutang. Seperti bangkai,
meskipun bangkai bisa manfaat dalam keadaan darurat atau barang itu harus
berupa harta mâl mutaqawwim.[3]
c.
Barang jaminan
itu jelas dan tertentu. Artinya
barang yang akan dijadikan jaminan hutang itu harus jelas dan tertentu untuk
menjamin hutang yang mana.
d.
Barang jaminan itu harus menjadi hak milik yang sah orang
yang berhutang. Artinya barang
yang digadaikan tersebut bukan hasil sewa atau pinjaman.
e.
Barang jaminan
itu tidak terkait dengan hak orang
yang menggadaikan, dalam artian barang yang digadaikan tersebut sudah tidak ada
haknya râhin,
seperti menggadaikan pohon yang ada buahnya. Maka tidak diperbolehkan
menggadaikan barang yang seperti itu, kecuali dengan buahnya.
f.
Barang jaminan
itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat. Seperti tidak diperbolehkan menggadaikan buah tanpa
dengan pohonnya sekaligus.
g.
Barang yang digadaikan tersebut tidak terkait dengan hak
milik orang lain, seperti hak milik bersama. Maka tidak diperbolehkan
menggadaikan suatu benda yang dimiliki dengan orang lain.
h.
Barang jaminan
itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Dari syarat-syarat diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa
barang yang digadaikan harus berupa barang yang mempunyai nilai (harga) menurut
syara'. Karena maksud dari barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan atas
hutang. Sehingga apabila tidak mampu melunasi hutangnya, maka barang gadai itu
sebagai ganti untuk menutupi utang
tersebut.
Selain itu, barang
gadaian tersebut juga harus diserahkan kepada murtahin. Sebab gadai itu
diakatan belum terjadi jika barang gadai itu belum diserahkan. Artinya,
penyerahan dan penerimaan barang gadai (marhun) adalah syarat yang
mengikat akad gadai itu sendiri, karena asumsi jumhur ulama mengenai gadai
disamakan dengan jual beli.
Sedangkan tatacara
peneriamaan barang gadai adalah sebagai berikut:
1.
jika barang tersebut adalah benda tetap, maka
penyerahannya dengan cara mengosongkan benda tersebut dari hal-hal yang
menghalangi peneriamaan.
2.
Untuk benda yang bergerak, maka benda itu harus
diserahkan kepada murtahin dengan cara pindahkan.
3.
Apabiala barang tersebut merupakan harta yang ditakar
atau ditimbang, maka barang tersebut harus ditakar atau ditimbang.
Mangenai
penguasaan terhadap barang yang digadaikan, ada tiga (3) syarat dalam penyerahan barang gadai iyaitu:
1) harus ada idzin dari rahin. 2) rahin dan murtahin harus
cakap dalam bermuamalah. 3) murtahin harus tetap menguasai pada barang
jaminan tersebut, tidak boleh mengembelikannya atau meminjamkannya,
menyewakannya, atau menitipkannya kepada rahin, sebelum piutang murtahin
dilunasi oleh rahin.
Secara etika dan
syariah islam Penerima gadai
(murtahin) harus menjaga barang gadai (marhun). Karena barang itu
merupakan amanat yang harus dijaga oleh penerima gadai. Namun apabila barang
gadai itu rusak dengan sendirinya, bukan perbuatan penerima gadai, maka gadai tersebut tidak bisa gugur sebab
rusaknya barang gadai.
Dalam syariah
islam masa penguasaan barang gadai ditangan penerima gadai adalah
sampai penggadai mampu melunasi semua hutangnya. Jika penggadai mengembalikan
sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum
melunasi semua hutangnya.
Hal ini menunjukkan bahwa masa kontrak gadai tidak dibatasi oleh waktu.
Namun ketika rahin
menggadaikan barang (emas) pada lembaga keuangan, maka masa kontrak tidak boleh
tidak harus dibatasi oleh waktu. Sebab dana di lembaga tersebut harus selalu
berputar sehingga menghasilkan laba (falah). Maka tidak jarang terjadi,
ketika masa gadai sudah jatuh tempo, barang gadaian (marhun) masuk pada
meja lelang atau harus dijual demi menutupi utang (marhun bih) yang
diterima penggadai.
B.
TINJAUAN
DARI SEGI AKADNYA
Akad adalaha
pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syariat.[4]
Maka Akad itu tidak sah
apabila tanpa adanya ijab qabul (serah terima), karena termasuk dalam rukun akad adalah serah terima
tersebut.[5]
Ada kalanya ijab dan qabul itu berupa
perkataan kedua belah pihak atau berupa tindakan yang dilakukan oleh kedua
belah pihak yang menunjukkan kerelaan di antara keduamya.[6]
Seperti, "saya gadaikan emas ini dengan harga Rp.
400.000,-". Lalu Pak Ahmad (yang menerima gadai) menjawab. "Ya, saya
terima gadai tersebut". Ijab qabul tersebut merupakan syarat gadai.
Yang maksud dari ijab qabul itu sendiri menurut adalah:
الاِيْجَابُ:
اِثْبـَات اْلفِعْلِ اْلخَاصِّ الدَّالِّ عَلََى الرِّضَا اْلوَاقِعِ اَوَّلاً مِنْ
كَلاَمِ اَحَدِ اْلمُـتَعَاقِدَيْنِ, اَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُ, سَوَاءٌ وَقَعَ
مِنَ اْلمُمَلِّكِ اََوِ اْلمُتَمَلَّكِ.
"Ijab adalah melakukan perbuatan khusus yang menunjukkan kerelaan yang
timbul pertama dari pembicaraan salah seorang yang melakukan akad, atau yang
menempati tempatnya, baik datangnya dari orang yang memberikan hak milik maupun
dari orang yang menerima hak milik" .[7]
وَاْلقَبُوْلُ
مَا صَدَرَمِنَ اْلعَاقِدَيْنِ الثَّانِيْ ثَانِيًا
“qabul adalah pernyataan kedua yang timbul dari pelaku
akad yang kedua”.[8]
Rukun akad, adalah
ijab dan qabul (shighat) atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua
belah pihak. [9]
Shighat ini memerlukan tiga syarat:
1.
Harus terang
pengertiannya.
2.
Harus
bersesuaian antara ijab dan qabul
3.
Memperlihatkan
kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam transaksi
gadai yang dilakukan oleh lembaga keuangan koperasi BMT UGT Sidogiri ada dua
akad yang diterapkan selain akad rahn itu sendiri. Yaitu akad ijarah (sewa-menyewa).
Penerepan dua akad
dalam satu satu produk layanan yaitu gadai. Hal ini logis kiranya diterapkan
oleh BMT UGT Sidogiri cabang Ganding, sebab marhun (barang jaminan) harus
diserahkan oleh rahin (penggadai) kepada murtahin (penerima
gadai). Maka termasuk kewajiban murtahin
adalah menjaga barang titipan yang diserahkan oleh rahin.
C.
TINJAUAN
DARI SEGI MASLAHAH DAN MAFSADAHNYA
Kegiatan gadai ini mula-mula berangkat dari upaya
tolong-menolong diantara sesama manusia, dalam rangka agar pemilik barang bisa
menunaikan kebutuhannya dengan cara meminjam uang yang di sertai dengan
penyerahan barang jaminan kepada orang
yang berpiutang. Pada dasarnya transaksi gadai ini merupakakn transaksi yang
mempunyai nilai yang baik dalam Islam.
Namun pada
perkembangan zaman selanjutnya, gadai tidak lagi murni sebagai bentuk dari aksi
sosial belaka, tetapi terkandung di dalamnya unsur-unsur ekonomi, yaitu mencari
keuntungan. Seperti adanya biaya-biaya
administrasi yang biasanya dikeluarkan oleh lembaga keuangan tersebut untuk
mendapatkan keuntungan yang diinginkan oleh lembaga itu. Tidak terkecuali,
semua lembaga keuangan yang memiliki layanan gadai syariah pasti memiliki
biaya-biaya administrasi yang dikenakan kepada nasabah atau anggota suatu
koperasi.
Di BMT UGT
Sidogiri sendiri, biasanya lembaga keuangan ini mengenakan biaya sewa-menyewa
tempat (ijarah) barang (emas) kepada anggotanya yang menikmati fasilitas
gadai. Dalam pelaksanaannya, biaya sewa tempat penitipan barang gadai bisa
dilakukan tawar-menawar antara BMT UGT Sidogiri dengan anggotanya. Akan tetapi
pihak lembaga memiliki ambang batas penwaran.
Dalam akad gadai
ini sebenarnya BMT UGT Sidogiri tidak mendapatkan hasil atau keuntungan, tetapi
pada praktik ijarahnya inilah lembaga ini mendapatkan keuntungan untuk
menggaji karyawan dan bagi-hasil bagi anggota nasabah atau anggotanya. Karena
dengan keuntungan yang diperoleh oleh BMT UGT Sidogiri dapat membiayai
operasional lembaga tersebut.
Selama biaya-biaya
tersebut tidak mendhalimi nasabah atau anggota koperasi tersebut, dan memang
betul-betul diperlukan dalam rangka berlangsungnya akad rahn, maka hal
tersebut bisa dilakukan. Hal ini sesuai dengan yang diamantkan oleh dewan
syariah nasional majlis ulama indonesia yang tertuang dalam keputusannya dengan
nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 yang berbunyi sebagai berikut:
“ Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). Yang besarannya didasarkan pada
pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Biaya penyimpanan barang (marhun)
dilakukan berdasarkan akad
Ijarah.”[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar