Jumat, 19 Desember 2014

bab IV rahn Emas

BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG GADAI SYARIAH
DI BMT UGT SIDOGIRI GANDING

A.      TINJAUAN DARI SEGI OBYEKNYA
Obyek dalam praktik gadai adalah benda-benda yang digadaikan, seperti kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, dll.), alat elektronik, atau segala sesuatu yang sah jual belinya, maka sah pula digadaikan. Jadi tidak semua barang dapat digadaikan atau dijadikan sebagai jaminan atas hutang.
وكل ما جاز بيعه جاز رهنه.[1]
"Segala sesuatu yang boleh menjualnya, maka boleh pula menjadikannya sebagai jaminan"
Dalam gadai, barang yang digadaikan harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: [2]
a.    Barang jaminan yang di gadaikan boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang.
b.    Barang yang digadaikan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Dengan kata lain sesuatu yang tidak bernilai harta tidak bisa dijadikan barang yang dijadikan jaminan sebuah hutang. Seperti bangkai, meskipun bangkai bisa manfaat dalam keadaan darurat atau barang itu harus berupa harta mâl mutaqawwim.[3]
c.    Barang jaminan itu jelas dan tertentu. Artinya barang yang akan dijadikan jaminan hutang itu harus jelas dan tertentu untuk menjamin hutang yang mana.
d.   Barang jaminan itu harus menjadi hak milik yang sah orang yang berhutang. Artinya barang yang digadaikan tersebut bukan hasil sewa atau pinjaman.
e.    Barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang yang menggadaikan, dalam artian barang yang digadaikan tersebut sudah tidak ada haknya râhin, seperti menggadaikan pohon yang ada buahnya. Maka tidak diperbolehkan menggadaikan barang yang seperti itu, kecuali dengan buahnya.
f.     Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat. Seperti tidak diperbolehkan menggadaikan buah tanpa dengan pohonnya sekaligus.
g.    Barang yang digadaikan tersebut tidak terkait dengan hak milik orang lain, seperti hak milik bersama. Maka tidak diperbolehkan menggadaikan suatu benda yang dimiliki dengan orang lain.
h.    Barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Dari syarat-syarat diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa barang yang digadaikan harus berupa barang yang mempunyai nilai (harga) menurut syara'. Karena maksud dari barang gadai tersebut adalah sebagai jaminan atas hutang. Sehingga apabila tidak mampu melunasi hutangnya, maka barang gadai itu sebagai ganti untuk menutupi utang tersebut.
Selain itu, barang gadaian tersebut juga harus diserahkan kepada murtahin. Sebab gadai itu diakatan belum terjadi jika barang gadai itu belum diserahkan. Artinya, penyerahan dan penerimaan barang gadai (marhun) adalah syarat yang mengikat akad gadai itu sendiri, karena asumsi jumhur ulama mengenai gadai disamakan dengan jual beli.
Sedangkan tatacara peneriamaan barang gadai adalah sebagai berikut:
1.      jika barang tersebut adalah benda tetap, maka penyerahannya dengan cara mengosongkan benda tersebut dari hal-hal yang menghalangi peneriamaan.
2.      Untuk benda yang bergerak, maka benda itu harus diserahkan kepada murtahin dengan cara pindahkan.
3.      Apabiala barang tersebut merupakan harta yang ditakar atau ditimbang, maka barang tersebut harus ditakar atau ditimbang.
Mangenai penguasaan terhadap barang yang digadaikan, ada tiga (3)  syarat dalam penyerahan barang gadai iyaitu: 1) harus ada idzin dari rahin. 2) rahin dan murtahin harus cakap dalam bermuamalah. 3) murtahin harus tetap menguasai pada barang jaminan tersebut, tidak boleh mengembelikannya atau meminjamkannya, menyewakannya, atau menitipkannya kepada rahin, sebelum piutang murtahin dilunasi oleh rahin.
Secara etika dan syariah islam Penerima gadai (murtahin) harus menjaga barang gadai (marhun). Karena barang itu merupakan amanat yang harus dijaga oleh penerima gadai. Namun apabila barang gadai itu rusak dengan sendirinya, bukan perbuatan penerima gadai, maka gadai tersebut tidak bisa gugur sebab rusaknya barang gadai.
Dalam syariah islam masa penguasaan barang gadai ditangan penerima gadai adalah sampai penggadai mampu melunasi semua hutangnya. Jika penggadai mengembalikan sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum melunasi semua hutangnya. Hal ini menunjukkan bahwa masa kontrak gadai tidak dibatasi oleh waktu.
Namun ketika rahin menggadaikan barang (emas) pada lembaga keuangan, maka masa kontrak tidak boleh tidak harus dibatasi oleh waktu. Sebab dana di lembaga tersebut harus selalu berputar sehingga menghasilkan laba (falah). Maka tidak jarang terjadi, ketika masa gadai sudah jatuh tempo, barang gadaian (marhun) masuk pada meja lelang atau harus dijual demi menutupi utang (marhun bih) yang diterima penggadai.


B.       TINJAUAN DARI SEGI AKADNYA
Akad adalaha pertalian antara ijab dan qabul menurut ketentuan syariat.[4] Maka Akad itu tidak sah apabila tanpa adanya ijab qabul (serah terima), karena termasuk dalam rukun akad adalah serah terima tersebut.[5] Ada kalanya ijab dan qabul itu berupa perkataan kedua belah pihak atau berupa tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menunjukkan kerelaan di antara keduamya.[6] Seperti, "saya gadaikan emas ini dengan harga Rp. 400.000,-". Lalu Pak Ahmad (yang menerima gadai) menjawab. "Ya, saya terima gadai tersebut". Ijab qabul tersebut merupakan syarat gadai.
Yang maksud dari ijab qabul itu sendiri menurut adalah:
الاِيْجَابُ: اِثْبـَات اْلفِعْلِ اْلخَاصِّ الدَّالِّ عَلََى الرِّضَا اْلوَاقِعِ اَوَّلاً مِنْ كَلاَمِ اَحَدِ اْلمُـتَعَاقِدَيْنِ, اَوْ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُ, سَوَاءٌ وَقَعَ مِنَ اْلمُمَلِّكِ اََوِ اْلمُتَمَلَّكِ.
"Ijab adalah melakukan perbuatan khusus yang menunjukkan kerelaan yang timbul pertama dari pembicaraan salah seorang yang melakukan akad, atau yang menempati tempatnya, baik datangnya dari orang yang memberikan hak milik maupun dari orang yang menerima hak milik" .[7]
وَاْلقَبُوْلُ مَا صَدَرَمِنَ اْلعَاقِدَيْنِ الثَّانِيْ ثَانِيًا
“qabul adalah pernyataan kedua yang timbul dari pelaku akad yang kedua”.[8]
Rukun akad, adalah ijab dan qabul (shighat) atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. [9]
Shighat ini memerlukan tiga syarat:
1.    Harus terang pengertiannya.
2.    Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3.    Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam transaksi gadai yang dilakukan oleh lembaga keuangan koperasi BMT UGT Sidogiri ada dua akad yang diterapkan selain akad rahn itu sendiri. Yaitu akad ijarah (sewa-menyewa).
Penerepan dua akad dalam satu satu produk layanan yaitu gadai. Hal ini logis kiranya diterapkan oleh BMT UGT Sidogiri cabang Ganding, sebab marhun (barang jaminan) harus diserahkan oleh rahin (penggadai) kepada murtahin (penerima gadai).  Maka termasuk kewajiban murtahin adalah menjaga barang titipan yang diserahkan oleh rahin.


C.      TINJAUAN DARI SEGI MASLAHAH DAN MAFSADAHNYA
Kegiatan gadai ini mula-mula berangkat dari upaya tolong-menolong diantara sesama manusia, dalam rangka agar pemilik barang bisa menunaikan kebutuhannya dengan cara meminjam uang yang di sertai dengan penyerahan  barang jaminan kepada orang yang berpiutang. Pada dasarnya transaksi gadai ini merupakakn transaksi yang mempunyai nilai yang baik dalam Islam.
Namun pada perkembangan zaman selanjutnya, gadai tidak lagi murni sebagai bentuk dari aksi sosial belaka, tetapi terkandung di dalamnya unsur-unsur ekonomi, yaitu mencari keuntungan. Seperti adanya biaya-biaya administrasi yang biasanya dikeluarkan oleh lembaga keuangan tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang diinginkan oleh lembaga itu. Tidak terkecuali, semua lembaga keuangan yang memiliki layanan gadai syariah pasti memiliki biaya-biaya administrasi yang dikenakan kepada nasabah atau anggota suatu koperasi.
Di BMT UGT Sidogiri sendiri, biasanya lembaga keuangan ini mengenakan biaya sewa-menyewa tempat (ijarah) barang (emas) kepada anggotanya yang menikmati fasilitas gadai. Dalam pelaksanaannya, biaya sewa tempat penitipan barang gadai bisa dilakukan tawar-menawar antara BMT UGT Sidogiri dengan anggotanya. Akan tetapi pihak lembaga memiliki ambang batas penwaran.
Dalam akad gadai ini sebenarnya BMT UGT Sidogiri tidak mendapatkan hasil atau keuntungan, tetapi pada praktik ijarahnya inilah lembaga ini mendapatkan keuntungan untuk menggaji karyawan dan bagi-hasil bagi anggota nasabah atau anggotanya. Karena dengan keuntungan yang diperoleh oleh BMT UGT Sidogiri dapat membiayai operasional lembaga tersebut.
Selama biaya-biaya tersebut tidak mendhalimi nasabah atau anggota koperasi tersebut, dan memang betul-betul diperlukan dalam rangka berlangsungnya akad rahn, maka hal tersebut bisa dilakukan. Hal ini sesuai dengan yang diamantkan oleh dewan syariah nasional majlis ulama indonesia yang tertuang dalam keputusannya dengan nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 yang berbunyi sebagai berikut:
Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). Yang besarannya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.[10]




[1]Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Alâ Madzâb Al-Arba’ah, (Beirut:Dar Al-Fikr, 2004), Ii: 255
[2] Masurun  Haoen, Fiqih Muhammad, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), hal. 255 liahat juga di Drs. H. Ahmad  Wardi M, Fiqh Muamalat. hlm. 292-294
[3] Drs. H. Ahmad  Wardi M, Fiqh Muamalat,( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 293
[4] Drs. H. Ahmad  Wardi M, Fiqh Muamalat,( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 111
[5] Ibnu Rusy. Bidayatul mujtahid, (Daru Ihya  Al-Kitab Al-Arabiah, II), hal. 128
[6] Drs. H. Ahmad  Wardi M, Fiqh Muamalat,( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 131
[7] Ibid. Hlm. 131
[8] Ibid. Hlm. 131
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddizy, Pengantar Fiqih Muamala, (PT. Pustaka RIZKI Putra, Semarang, 1999), hal. 30-31.
[10]Fatwa DSN MUI nomor: 26/DSN-MUI/III/2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar